Rumah Sakit Panti Rapih



SEJARAH berdirinya Rumah Sakit Panti Rapih, di Jalan Cik Di Tiro 30 Yogyakarta, tidak terlepas dari sejarah perkembangan gereja Katolik di Yogyakarta. Pada tahun 1914 warta gembira Kerajaan Allah mulai dikenal oleh warga Yogyakarta dengan dimulainya pelajaran agama Katolik di rumah R.P. Himawidjaja (ayah Mgr. A. Djajasepoetro, SJ). Para misionaris bersama murid‑murid dari Xaverius College Muntilan dengan semangat merasulnya yang tinggi mampu membuat Yogyakarta sebagai daerah yang menarik untuk dikembangkan. Tahun 1917 berdirilah Standaart‑School sebagai lembaga pendidikan Katolik pertama di Yogyakarta. Seiring perjalanan waktu, lembaga pendidikan Katolik di Yogyakarta semakin berkembang.

Dari perkembangan yang menggembirakan tersebut, para misionaris berkeinginan mengembangkan karyanya bagi masyarakat pribumi dengan membangun rumah sakit. Untuk merealisasikan tujuan tersebut, maka pengurus Gereja Yogyakarta menjalin hubungan dengan para Suster Fransiskanes agar bersedia mengelola rumah sakit. Namun karena pilihan para Suster Fransiskanes untuk berkonsentrasi di bidang pendidikan maka tawaran tersebut terpaksa ditolak. Tahun 1921 pengurus Gereja Yogyakarta memutuskan untuk meminta bantuan kepada Suster‑suster Carolus Borromeus yang berpusat di Maastricht Belanda untuk mengelola rumah sakit. Keputusan ini kemungkinan besar karena keberadaan Ir. Julius Robert Anton Marie Schmutzer seorang tokoh awam dan administratur onderneming Gondang Lipoero Ganjuran Bantul yang memiliki hubungan erat dengan Kongregasi Suster CB karena istrinya, Ny. C.T.M. Schmutzer, murid sekolah perawat yang dikelola Suster CB di Belanda.
Titik awal berdirinya Rumah Sakit Panti Rapih adalah dibentuknya yayasan "Onder de Bogen" atau dalam bahasa Belanda Onder de Bogen Stichting oleh pengurus Gereja Yogyakarta pada tanggal 22 Februari 1927. Tanda pembangunan fisik rumah sakit dimulai dengan peletakan batu pertama oleh Ny. C.T.M. Schmutzer van Rijckevorsel tanggal 14 September 1928.
Pada bulan Januari 1929, tibalah lima orang Suster Cinta Kasih St. Carolus Borromeus dari Belanda. Mereka adalah Moeder Gaudentia Brand, Sr. Yudith de Laat, Sr. Ignatia Lemmens, Sr. Simonia, dan Sr. Ludolpha de Groot. Karena bangunan belum selesai, maka kelima suster tersebut dititipkan di biara Suster OSF Yogyakarta.
Pembangunan rumah sakit akhirnya dapat diselesaikan pada pertengahan Agustus 1929 dan pada tanggal 24 Agustus 1929 Mgr. A.P.F van Velse, SJ berkenan memberkati bangunan tersebut. Tanggal 14 September 1929 secara resmi rumah sakit dibuka oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dengan nama Rumah Sakit "Onder de Bogen".
Beberapa tahun kemudian Sri Sultan Hamengku Buwono VIII berkenan menghadiahkan sebuah mobil ambulance sebagai penghargaan atas pelayanan bagi masyarakat pribumi.
Bangunan yang dihiasi dengan lengkungan-lengkungan dan nama Onder de Bogen menjadikan kelengkapan nostalgia bagi para Suster CB yang berdinas di rumah sakit ini akan induk biara Suster-Suster CB di Maastricht Belanda.
Para suster melayani dan merawat orang sakit, meringankan penderitaan sesama sesuai dengan ajaran Injil tanpa memandang agama dan bangsa. Sedikit demi sedikit penderita datang dan semakin lama semakin bertambah dan meningkat jumlahnya. Diantara penderita tersebut sebagian besar adalah pejabat Belanda dan kerabat Kraton.
Sementara itu rakyat yang miskin dan lemah belum bisa menikmati pelayanan rumah sakit. Para suster menjadi prihatin dan merasa tidak puas akan hal ini, karena untuk orang kecil, yang miskin dan lemahnya mereka datang mengabdi di Bumi Nusantara ini. Oleh karena itu Pimpinan Umum Suster‑suster CB di Maastricht mendesak Pengurus Yayasan Onder de Bogen untuk menyediakan fasilitas guna melayani rakyat kecil yang miskin dan lemah. Namun apa daya, Yayasan Onder de Bogen belum mempunyai dana yang cukup untuk itu. Melalui uluran tangan Kongregasi Bruder FIC yang berkenan membantu membangunkan bangsal khusus untuk orang yang tidak mampu, yang kemudian diberi nama Bangsal Theresia.
Hari berganti hari, jumlah penderita yang datang semakin meningkat. Fasilitas pun harus ditambah dan dikembangkan untuk mengimbangi kebutuhan pelayanan. Pada tahun 1942 datanglah bangsa Jepang untuk menjajah Indonesia tercinta ini. Dalam waktu singkat, penderitaan besar segera melanda seluruh penjuru Indonesia. Rumah Sakit Onder de Bogen tidak terhindar pula dari penderitaan ini. Pengelolaan rumah sakit menjadi kacau balau. Keadaan keuangan rumah sakit benar‑benar menyedihkan: biaya rutin saja harus ditutup dengan segala susah payah.
Sementara itu para Suster Belanda diinternir dan dimasukkan kamp tahanan Jepang. Dan saat itu yang paling pedih pun datang; rumah sakit Onder de Bogen diambil alih menjadi rumah sakit pemerintah Jepang. Dr. Sentral selaku Direktur Rumah Sakit, dipindahkan ke Rumah Sakit Bethesda, yang juga diambil alih pemerintah Jepang. Pimpinan rumah sakit diserahkan kepada Sr. Sponsari, dan Moeder Yvonne diangkat sebagai Pembesar Umum Suster CB di Indonesia. Keadaan rumah sakit menjadi semakin parah.
Pemerintah Jepang juga menghendaki agar segala sesuatu termasuk bahasa, yang berbau Belanda tidak digunakan di seluruh muka bumi Indonesia. Tidak luput pula nama rumah sakit ini harus diganti nama pribumi. Mgr. Alb. Soegijopranoto, SJ, Bapa Uskup pada Keuskupan Semarang berkenan memberikan nama baru "Rumah Sakit Panti Rapih", yang berarti Rumah Penyembuhan.
Sesudah masa pendudukan Jepang, berkibarlah dengan megahnya Sang Dwi Warna, Merah Putih, dan para Suster CB dapat kembali lagi ke Rumah Sakit Panti Rapih. Dengan semangat cinta kasih, mereka merawat para pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia, diantaranya Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia, Jenderal Sudirman. Ketika Sr. Benvunito ‑‑ seorang Suster CB yang merawat Jenderal Sudirman ‑‑ memperingati genap dua puluh lima tahun membiara, Panglima Besar Jenderal Sudirman berkenan merangkai sebuah sajak indah dan ditulis tangan dengan hiasan yang cantik khusus untuk Suster Benvunito dan Rumah Sakit Panti Rapih. Sajak yang berjudul RUMAH NAN BAHAGIA tersebut saat ini masih tersimpan dengan baik.
Sesudah kedaulatan Indonesia diakui oleh dunia Internasional, maka Rumah Sakit Panti Rapih juga semakin dikenal dan mendapat kepercayaan dari masyarakat. Semakin banyak pula penderita yang datang dan dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih. Untuk mengimbangi hal ini, para pengurus Yayasan dan para Suster merencanakan untuk memperluas bangunan dan menambah fasilitas yang ternyata membutuhkan dana dan pembiayaan yang tidak sedikit. Para Suster CB bersama Pengurus Yayasan berusaha keras sekuat tenaga untuk mendapatkan dana bantuan, baik dari Pemerintah maupun dari umat Katolik. Sekedar untuk menambah dana, para Suster membuat lukisan‑lukisan dan pekerjaan tangan lainnya untuk dijual. Atas jasa dan jerih payah Marcus Mangoentijoso, yang menjabat sebagai Pengurus Yayasan pada waktu itu, diperoleh bantuan yang cukup besar dari Pemerintah Republik Indonesia melalui Yayasan Dana Bantuan, yang dapat dimanfaatkan untuk membangun bangsal Albertus, bangsal Yacinta dan Poliklinik Umum.
Tahap demi tahap, sesuai dengan datangnya dana bantuan Rumah Sakit Panti Rapih melengkapi dirinya dengan fasilitas‑fasilitas yang sebaiknya dimiliki sebuah rumah sakit, baik peralatan medis, peralatan unit penunjang, maupun bangunan‑bangunan bangsal baru dan poliklinik.

Untuk dapat lebih memperpanjang daya jangkau pelayanan kepada masyarakat kecil, khususnya warga pedesaan, Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta membuka cabang berupa Rumah Bersalin dan Balai Pengobatan di daerah Pakem dan di daerah Kalasan. Khusus untuk warga masyarakat yang lemah dan miskin benar‑benar membutuhkan pelayanan rumah sakit, dibukalah bangsal PUSPITA yang merupakan singkatan dari "Pusat Spiritualitas".

Selengkapnya


------

Sejarah Singkat Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta
Rumah Sakit Panti Rapih dikelola oleh Yayasan Panti Rapih. Yayasan Panti Rapih didirikan oleh Ordo Katolik Carolus Borromeus.

Pada 15 September 1928, Ordo Katolik Carolus Borromeus dengan dibantu Ir. Schmutzer van Rijckevorsel memulai pembangunan gedung Rumah Sakit Carolus Borromeus cabang Yogyakarta. Bangunan rumah sakit ini dirancang serupa dengan biara utama ordo St. Carolus Borromeus di Maastricht, Belanda. Batu pertama RS ditandatangani oleh Ir. Schmutzer van Rijckevorsel. Pada Januari 1929, lima suster Katolik Belanda dari ordo Carolus Borromeus datang ke Yogyakarta dalam tugas pelayanan untuk orang-orang sakit. Kelima suster tersebut adalah: Sr. Gaudentia Brand, Sr. Judith de Laat, Sr. Ignatia Lemmens, Sr. Simonia, and Sr. Ludolpha de Groot.

Gedung rumah sakit baru selesai dibangun secara keseluruhan tanggal 25 Agustus 1929. Hal ini ditandai dengan pemberkatan gedung oleh uskup Katolik Mgr. Anton Pieter Franz van Velsen, S.J. Pada 14 September 1929, rumah sakit dibuka secara resmi oleh Sultan Hamengkubuwono VIII sebagai Rumah Sakit Onder de Bogen ("di bawah lengkungan/gereja"). Beberapa tahun kemudian, Sultan Hamengkubuwono VIII memberikan hadiah sebuah mobil ambulans kepada RS.

Kebanyakan pasien yang dirawat adalah orang-orang Belanda dan pejabat/ keluarga Kraton. Untuk menolong orang yang tidak mampu, didirikan klinik rawat jalan oleh ordo Brothers of Christian Instruction (FIC). Tahun 1942, Jepang menguasai Indonesia dan banyak suster serta dokter warga negara Belanda yang bekerja di rumah sakit ini ditangkap dan ditawan di kamp konsentrasi. Dinas kesehatan Tentara Jepang mengambil alih rumah sakit dan memaksa pengelola untuk mengganti nama rumah sakit dari bahasa Belanda menjadi bahasa Indonesia. Oleh Uskup Semarang Mgr. Soegijapranata, S.J., nama rumah sakit diganti menjadi RS Panti Rapih ("Pengobatan"). Suster Sponsaria dipilih sebagai ketua rumah sakit.

Tahun 1945, setelah Jepang menyerah kalah terhadap Pasukan Sekutu dalam Perang Pasifik, ordo Suster Carolus Borromeus kembali mengelola RS Panti Rapih. Pada saat perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, Rumah Sakit Panti Rapih banyak merawat para pejuang yang terluka dalam pertempuran. Salah satu pasien yang dirawat pada tahun 1948 adalah Jendral Soedirman.

Ketika Sr. Benvunito (seorang Suster CB yang merawat Jenderal Sudirman) memperingati genap dua puluh lima tahun membiara, Panglima Besar Jenderal Sudirman berkenan merangkai sebuah sajak indah dan ditulis tangan dengan hiasan yang cantik khusus untuk Suster Benvunito dan Rumah Sakit Panti Rapih. Sajak yang berjudul RUMAH NAN BAHAGIA tersebut saat ini masih tersimpan dengan baik. Tahap demi tahap, Rumah Sakit Panti Rapih melengkapi dirinya dengan fasilitas‑fasilitas yang baik layaknya Rumah Sakit pada umumnya. Saat ini, bangunan Onder de Bogen yang terletak di sebelah barat RS Panti Rapih telah ditetapkan sebagai Warisan Cagar Budaya oleh WHO.

https://pantirapih.or.id/

Komentar